Minggu, 13 November 2011

BOLU BONTO

BOLU BONTO
Oleh: Edo Permadi

Mari lebur dalam jenaka
Baca hal demi hal yang kau sangka
Jika kemauan adalah sama
Akankah kalah menyertai, setinggi ajakan asap dupa
Disenyumi Tuhan, dicibir kehidupan.

Seperti itu kau ingin menangis?
Kau sesaki dadamu dengan jibaku nisan berlapis,
            Basi, bolu bonto
            Tertunduk di peluk tudung saji, susah berdiri
            Manisnya lama-lama kering, ditukik taring
            Serombongan semut iktirad.

Seperti itu kau ingin menyerah?
Kau namakan dirimu gunung api, sebetulnya kau lembah
Tempat damai bercengkramanya nasib nista.

Yogyakarta, 12 November 2011

Kamis, 10 November 2011

DAKU DAN KISAH SEMENJANA

DAKU DAN KISAH SEMENJANA
Oleh: Edo Permadi

Daku dan kisah semenjana, bernantian
 
Naik biang-lala, lupa sengaja lupa
Teriak dan teriak lagi.

Aku baru terhenyak: malam menjanjikan aku
                            sebagai tumbal kesunyian,
                            dikatakannya kepada fajar
                            esok aku lebur,
                            sayup-sayup dikembalikan kepada Tuhan.

Aku berjumpa awan mendung di atas rembulan
Merah melengkung tipis
Awas menatapku miris
Ia menangis, aku menangis: dikatakannya kepada fajar
                                       lewat mata yang hampir pecah itu
                                       jika aku salah, menerima kematian
                                       tanpa mengenal Tuhan.

Menyesal tiada berharga jika menduga pun tak pernah ada.

Daku dan kisah semenjana, kebanggan
Berpamitan sekedarnya,
Sementara kematian mengikat, dan berpura
Menjejali kepala dengan harum surga.

Yogyakarta, 10 November 2011

Selasa, 08 November 2011

SEPENINGGALAN GURU

SEPENINGGALAN GURU
Oleh: Edo Permadi

Ingin berguru pada siapa kau kini?
Setelah gurumu menyerahkan nyawanya pada Tuhan
Sebagian lagi padamu, murid kesayangannya.

Patutlah kau berduka tujuh hari tujuh malam
Minum darah perjuangan gurumu
Lalu bangkit dan cari guru baru.

Kehidupan kaya akan ilmu
Dan kau sedikitpun belum menguasainya,
            Ingin berguru pada siapa kau kini?
            Setelah kau sadar tak ada yang sudi mengajarimu budi pekerti
            Selain gurumu yang telah meninggal itu.

Yogyakarta, 08 November 2011

MARI MENDEKATLAH SAYANG

MARI MENDEKATLAH SAYANG
Oleh: Edo Permadi

Wajahku semakin tebal
Bagai bau jalanan aspal yang hangus
Aku ingin berjalan lebih merunduk kini
Sepanjang jalan mengheningkan cinta.

Mari mendekatlah sayang
Aku ingin menyandarkan air mata di pundakmu
Membagi rasa mati yang begitu pucat
Aku ingin peti mati yang wangi dan kedap suara.

Mari mendekatlah sayang
Kita yang dulu tiada kini ada
Bersyukurlah pada Tuhan
Bersyukurlah pada Tuhan.

Mari mendekatlah sayang
Aku ingin sekali bersenandung mesra ditelingamu
Menyanyikan lagu-lagu kesepian
Kosong bilang kosong
Tak berhenti bilang
Padahal tetap kosong
Menyanyikan lagu-lagu Tuhan
Dosa bilang dosa
Tak berhenti bilang
Padahal tetap dosa
Sepertinya aku mampu,
Menyanyikannya setiap pagi untukmu.

Jangan abaikan senyap datang,
Nikmatilah duduk sendiri dalam lamunan
Bertahan, membara dan menangis
Mengenang masa saat kita giat sekali menghitung rintik-rintik hujan
Menunggu masa saat kita kembali saling dekap dalam air mata
Menjadilah jiwaku,
Dan seperti itu selamanya untukku.

Mari mendekatlah sayang,
Sayang…

Sleman, 26 Januari 2010

KAPAL PECAH

KAPAL PECAH
Oleh: Edo Permadi

Bayangkan jika dua tahun lagi
Di Indonesia,
Di Yogyakarta,
Di Kampusku,
Jalan makin padat dengan kendaraan
Tempat parkir di kampusku, seperti kapal pecah
Polusi makin meningkat,
Kematian karena kecelakaan semakin jadi hal yang biasa
Mengapa harus menunggu dua tahun lagi?
Sekarang pun semua sudah terjadi, Bapak…

Yogyakarta, 24 Oktober 2009

RUTUP SEBANGSA SEMUNDING

RUTUP SEBANGSA SEMUNDING
Oleh: Edo Permadi

Sekian lama pepohonan menebar seram
Sebangsa semunding merutup,
Merundungku dengan mata tajam
Berjalanlah aku pelan,
Mendamaikan dendam dengan kuasa Tuhan.

Sebangsa semunding merutup
Membuatku tersudut, namun aku yakin
Aku lebih cerdas daripada Einstein,
Aku lebih nasionalis daripada Soekarno,
Aku lebih bersahaja daripada Mandela,
Aku lebih kejam daripada Hitler,
Kadangkala aku bisa merasa lebih cantik daripada Cleopatra,
Berdiri di tepi Sungai Nil
Menghanyutkan air mata sampai Mediteran
Membenamkanmu yang tengah berlayar disana
Apakah kini kau sudah merasa malu?
Dan memohon maaf padaku?

Aku bawa dendamku,
Ditengah gemuruh langit yang menghempaskan tubuh
Dan bumi lantang menolak sajak maaf dari semunding
Sehina hatimu.
Aku tunggu kematianmu
Mati bersama penyesalanmu.

Sleman, 01 Februari 2010

SIA-SIA SAJALAH ENGKAU

SIA-SIA SAJALAH ENGKAU
Oleh: Edo Permadi

Sia-sia sajalah engkau
Sekarang langit tak semerah dahulu
Kala kau tertampik sorak-sorai
Menantang kematian di muka pertiwi
Kini langit-langitmu itu,
Telah tenggelam di pantai yang dingin.

Sia-sia sajalah engkau
Dewasa ini banyak dari generasimu
Duduk diam dengan tangan terikat
Dan mulut menganga, menanti sari pati
Nasi-nasi kapitalis senawi.

Syuhada merah putih,
Semoga kau damai dalam penyesalanmu
“dan  bergembiralah
 aku akan membersamaimu di surga,
          tempat kita khusyuk bersama
          menyanyikan lagu Indonesia Raya…”

Yogyakarta, Maret 2009

BERDOA DALAM PUISI

BERDOA DALAM PUISI
Oleh: Edo Permadi

Samar-samar suaraku mulai reda
Tak terlihat lagi nyala bara di dalamnya.

Aku masih cukup giat berdoa dalam setiap puisi-puisiku
Merasa syahdu diputari wahyu
Tak peduli meski hati
Penuh geliat yang meredam
Tidak berkilau, subam kelam.

“alangkah pandai kenyataan bersenandung akan dusta-dusta
menggenggami setancap cempaka di dada
segala gaduh sudah sama hangatnya
dengan senjata serdadu yang menyentak, menyalak…”

“alangkah pandai Tuhan menyejukkan lara-lara doa
menjanjikan pada jiwa ini
segala kehidupan yang harum
alangkah pandai Tuhan membangkitkan semua harapan…”

Samar-samar suaraku mulai tumbuh
Menggebu-gebu kembali nyalanya
Dalam hati penuh keyakinan
Mesti percaya meski kecewa.

Sleman, 04 Februari 2010

FILM

FILM
Oleh: Edo Permadi

Akhir-akhir ini
Banyak orang adu akting
Wah-wah...
Cari simpati pontang-panting.

Panggung, dimanapun tempat jadi
Mulai dari pasar, tempat pembuangan sampah dan tugu proklamasi.

Mereka adu akting,
Tebar pesona dan setengah mati jadi prihatin
Bak menebar tajur, wacana menghibur
Jujur gugur, kami hancur.

Apakah ini sebuah film?
Kalau memang benar, aku ingin tahu kapan tayangnya?
Aku ingin tahu siapa sutradaranya?

Malangnya aku telat sadar,
Aku kini lumpuh, merangsek masuk cerita
Ikut jadi jahanam
Oh kau, benar-benar penuh tipu daya.

Yogyakarta, 10 Mei 2009

DITINGGALKAN REMBULAN

DITINGGALKAN REMBULAN
Oleh: Edo Permadi

Malam berjalan teguh, tak mau diganggu
Aku terbit bersama matahari
Aku menangis bersama matahari
Merasa galah mengayuh jauh
Aku butuh rembulan.

Sapa aku malam
Dan pangkulah pengakuanku
berpanjang, bermalam.

Hati bersimpuh
Aku butuh namamu
Jangan buang aku dalam keterasingan diri
Aku masih butuh teman disini.

Air mata pasrah membisu dirajam lamunan
Semakin sadar saja aku
Disini cerita kita harus berlomba
Menaklukkan masa depan.

Yogyakarta, 29 April 2009

HEI

HEI
Oleh: Edo Permadi

Perhatikan,
Pada teman-teman aku baris paling belakang
Cacat mental
Namaku tak sempat terbilang
Maka pagi atau malam
Aku dipanggil, Hei…

Perhatikan,
Rumahku jadi tempat ajang pembuktian
Barisan korban kapitalis,
Bangsaku gagah sekali, terbang dengan sayap bermotif bendera Amerika.

Perhartikan,
Tempat tidurku tanpa ranjang tanpa selimut
Bantal gulingku adalah marka-marka putih di tepi jalan.

Perhatikan,
Pada matahari dan bulan kami menyembah uang
Ibuku tak sempat menyusui adikku
Bapakku tak sempat memberikan nama untuk adikku
Maka pagi atau malam
Adikku dipanggil, Hei…

Yogyakarta, 20 Oktober 2009

KEKASIHKU YANG KEDINGINAN


KEKASIHKU YANG KEDINGINAN
Oleh: Edo Permadi

Kekasihku yang kedinginan
Keramaian kota yang suram telah membuatmu jumawa
Sekilas lupa sebuah rasa kehilangan
Melupakan tujuan dan jalan sucimu
     Kau perlahan membiarkannya terkubur menjadi jenazah tak berpusara
     Bolehkah aku berduka hati atas dirimu?

Kala pilu tengah membatu
Resah mulai bergentayangan, dan kau mulai menangis
Kau kikuk minta dibelai, minta nasihat.

Aku ingin kau berubah.

Jadi malam ini, tengadahkanlah kepalamu ke langit
Duduk manis dan berdoa
Kekasihku yang kedinginan,
Berdoalah dengan sejuta lirik air mata
Tuhan akan tersenyum, melihat hambanya yang mencoba
Semoga kau menjadi salah satu sudut senyum di bibir Tuhan.

Sleman, 23 Februari 2010