Selasa, 20 Desember 2011

WANITA DAN HARTANYA

WANITA DAN HARTANYA
Oleh: Edo Permadi

Pagi diam tak risau
Membiarkan,
Asap tengah malam menggumpal berbaris: mulai habis
                  di  dahaga yang belum kentara: aku lahir
Ada wanita legam memangku hartanya
Tangan gemetar mendamba, laju tahun
Aku tumbuh menjadi marwah
                  di kisah yang telah ada: aku tercipta.

Yogyakarta, 19 Desember 2011

MERAYU KAMELIA, MERAYU NEGARA

MERAYU KAMELIA, MERAYU NEGARA
Oleh: Edo Permadi

Ialah negaraku, Kamelia
Hidup menjuntai di tumpukan sampah
Jutaan patriot lebur jua disana
Dikubur hidup-hidup: serempak mati dan pasrah.

Ialah negaraku, Kamelia
“apakah ada nasionalisme pestaka,
yang berharga tanpa nisbah?”
Kepadanya,
Tepat sebelum senja duduk mendulang dosa, kutarik (lagi)
Pikirannya yang lupa, kutabrak
Kutanyai lagi dengan lebih romantis
Kepadanya,
“mampukah hadir rasa memiliki,
tanpa adanya kerelaan jiwa menjadi cinta?”
Ialah negaraku, Kamelia.

Yogyakarta, 18 Desember 2011

HIDUP LAGI

HIDUP LAGI
Oleh: Edo Permadi

Mata terpekur, selintas hening dan berlinang
Hati kalingan berkafan, berkalung deru hujan
Hidupkan aku lagi Tuhan.

Yogyakarta, 14 Desember 2011

LEMBAH TUALANG

LEMBAH TUALANG
Oleh: Edo Permadi

Aku kesana
Di tepian panorama, lembah tualang
Nafasku bertemu segerembul sawah poleng
Menaiki hutan berlumut, diseret-seret dingin
Tidakkah aku diam? bertahan dan pasrah,
Melacuri pikiran dengan kebenaran.

Aku kesana
Riang menemui cekaran teratai
Awan serenjang sampai puncak bukit
Serenggam membentuk taman gembala
Tidakkah aku diam? Menyapa seruling bambu,
Memainkan lagu yang begitu nestapa.

Aku kesana
Menemui keluruhan, sungai keruh: aku malu
Tidakkah aku diam? menuju dan dituju,
Zaman yang makin biadab ini.

Yogyakarta, 14 Desember 2011

Minggu, 13 November 2011

BOLU BONTO

BOLU BONTO
Oleh: Edo Permadi

Mari lebur dalam jenaka
Baca hal demi hal yang kau sangka
Jika kemauan adalah sama
Akankah kalah menyertai, setinggi ajakan asap dupa
Disenyumi Tuhan, dicibir kehidupan.

Seperti itu kau ingin menangis?
Kau sesaki dadamu dengan jibaku nisan berlapis,
            Basi, bolu bonto
            Tertunduk di peluk tudung saji, susah berdiri
            Manisnya lama-lama kering, ditukik taring
            Serombongan semut iktirad.

Seperti itu kau ingin menyerah?
Kau namakan dirimu gunung api, sebetulnya kau lembah
Tempat damai bercengkramanya nasib nista.

Yogyakarta, 12 November 2011

Kamis, 10 November 2011

DAKU DAN KISAH SEMENJANA

DAKU DAN KISAH SEMENJANA
Oleh: Edo Permadi

Daku dan kisah semenjana, bernantian
 
Naik biang-lala, lupa sengaja lupa
Teriak dan teriak lagi.

Aku baru terhenyak: malam menjanjikan aku
                            sebagai tumbal kesunyian,
                            dikatakannya kepada fajar
                            esok aku lebur,
                            sayup-sayup dikembalikan kepada Tuhan.

Aku berjumpa awan mendung di atas rembulan
Merah melengkung tipis
Awas menatapku miris
Ia menangis, aku menangis: dikatakannya kepada fajar
                                       lewat mata yang hampir pecah itu
                                       jika aku salah, menerima kematian
                                       tanpa mengenal Tuhan.

Menyesal tiada berharga jika menduga pun tak pernah ada.

Daku dan kisah semenjana, kebanggan
Berpamitan sekedarnya,
Sementara kematian mengikat, dan berpura
Menjejali kepala dengan harum surga.

Yogyakarta, 10 November 2011

Selasa, 08 November 2011

SEPENINGGALAN GURU

SEPENINGGALAN GURU
Oleh: Edo Permadi

Ingin berguru pada siapa kau kini?
Setelah gurumu menyerahkan nyawanya pada Tuhan
Sebagian lagi padamu, murid kesayangannya.

Patutlah kau berduka tujuh hari tujuh malam
Minum darah perjuangan gurumu
Lalu bangkit dan cari guru baru.

Kehidupan kaya akan ilmu
Dan kau sedikitpun belum menguasainya,
            Ingin berguru pada siapa kau kini?
            Setelah kau sadar tak ada yang sudi mengajarimu budi pekerti
            Selain gurumu yang telah meninggal itu.

Yogyakarta, 08 November 2011

MARI MENDEKATLAH SAYANG

MARI MENDEKATLAH SAYANG
Oleh: Edo Permadi

Wajahku semakin tebal
Bagai bau jalanan aspal yang hangus
Aku ingin berjalan lebih merunduk kini
Sepanjang jalan mengheningkan cinta.

Mari mendekatlah sayang
Aku ingin menyandarkan air mata di pundakmu
Membagi rasa mati yang begitu pucat
Aku ingin peti mati yang wangi dan kedap suara.

Mari mendekatlah sayang
Kita yang dulu tiada kini ada
Bersyukurlah pada Tuhan
Bersyukurlah pada Tuhan.

Mari mendekatlah sayang
Aku ingin sekali bersenandung mesra ditelingamu
Menyanyikan lagu-lagu kesepian
Kosong bilang kosong
Tak berhenti bilang
Padahal tetap kosong
Menyanyikan lagu-lagu Tuhan
Dosa bilang dosa
Tak berhenti bilang
Padahal tetap dosa
Sepertinya aku mampu,
Menyanyikannya setiap pagi untukmu.

Jangan abaikan senyap datang,
Nikmatilah duduk sendiri dalam lamunan
Bertahan, membara dan menangis
Mengenang masa saat kita giat sekali menghitung rintik-rintik hujan
Menunggu masa saat kita kembali saling dekap dalam air mata
Menjadilah jiwaku,
Dan seperti itu selamanya untukku.

Mari mendekatlah sayang,
Sayang…

Sleman, 26 Januari 2010

KAPAL PECAH

KAPAL PECAH
Oleh: Edo Permadi

Bayangkan jika dua tahun lagi
Di Indonesia,
Di Yogyakarta,
Di Kampusku,
Jalan makin padat dengan kendaraan
Tempat parkir di kampusku, seperti kapal pecah
Polusi makin meningkat,
Kematian karena kecelakaan semakin jadi hal yang biasa
Mengapa harus menunggu dua tahun lagi?
Sekarang pun semua sudah terjadi, Bapak…

Yogyakarta, 24 Oktober 2009

RUTUP SEBANGSA SEMUNDING

RUTUP SEBANGSA SEMUNDING
Oleh: Edo Permadi

Sekian lama pepohonan menebar seram
Sebangsa semunding merutup,
Merundungku dengan mata tajam
Berjalanlah aku pelan,
Mendamaikan dendam dengan kuasa Tuhan.

Sebangsa semunding merutup
Membuatku tersudut, namun aku yakin
Aku lebih cerdas daripada Einstein,
Aku lebih nasionalis daripada Soekarno,
Aku lebih bersahaja daripada Mandela,
Aku lebih kejam daripada Hitler,
Kadangkala aku bisa merasa lebih cantik daripada Cleopatra,
Berdiri di tepi Sungai Nil
Menghanyutkan air mata sampai Mediteran
Membenamkanmu yang tengah berlayar disana
Apakah kini kau sudah merasa malu?
Dan memohon maaf padaku?

Aku bawa dendamku,
Ditengah gemuruh langit yang menghempaskan tubuh
Dan bumi lantang menolak sajak maaf dari semunding
Sehina hatimu.
Aku tunggu kematianmu
Mati bersama penyesalanmu.

Sleman, 01 Februari 2010

SIA-SIA SAJALAH ENGKAU

SIA-SIA SAJALAH ENGKAU
Oleh: Edo Permadi

Sia-sia sajalah engkau
Sekarang langit tak semerah dahulu
Kala kau tertampik sorak-sorai
Menantang kematian di muka pertiwi
Kini langit-langitmu itu,
Telah tenggelam di pantai yang dingin.

Sia-sia sajalah engkau
Dewasa ini banyak dari generasimu
Duduk diam dengan tangan terikat
Dan mulut menganga, menanti sari pati
Nasi-nasi kapitalis senawi.

Syuhada merah putih,
Semoga kau damai dalam penyesalanmu
“dan  bergembiralah
 aku akan membersamaimu di surga,
          tempat kita khusyuk bersama
          menyanyikan lagu Indonesia Raya…”

Yogyakarta, Maret 2009

BERDOA DALAM PUISI

BERDOA DALAM PUISI
Oleh: Edo Permadi

Samar-samar suaraku mulai reda
Tak terlihat lagi nyala bara di dalamnya.

Aku masih cukup giat berdoa dalam setiap puisi-puisiku
Merasa syahdu diputari wahyu
Tak peduli meski hati
Penuh geliat yang meredam
Tidak berkilau, subam kelam.

“alangkah pandai kenyataan bersenandung akan dusta-dusta
menggenggami setancap cempaka di dada
segala gaduh sudah sama hangatnya
dengan senjata serdadu yang menyentak, menyalak…”

“alangkah pandai Tuhan menyejukkan lara-lara doa
menjanjikan pada jiwa ini
segala kehidupan yang harum
alangkah pandai Tuhan membangkitkan semua harapan…”

Samar-samar suaraku mulai tumbuh
Menggebu-gebu kembali nyalanya
Dalam hati penuh keyakinan
Mesti percaya meski kecewa.

Sleman, 04 Februari 2010

FILM

FILM
Oleh: Edo Permadi

Akhir-akhir ini
Banyak orang adu akting
Wah-wah...
Cari simpati pontang-panting.

Panggung, dimanapun tempat jadi
Mulai dari pasar, tempat pembuangan sampah dan tugu proklamasi.

Mereka adu akting,
Tebar pesona dan setengah mati jadi prihatin
Bak menebar tajur, wacana menghibur
Jujur gugur, kami hancur.

Apakah ini sebuah film?
Kalau memang benar, aku ingin tahu kapan tayangnya?
Aku ingin tahu siapa sutradaranya?

Malangnya aku telat sadar,
Aku kini lumpuh, merangsek masuk cerita
Ikut jadi jahanam
Oh kau, benar-benar penuh tipu daya.

Yogyakarta, 10 Mei 2009

DITINGGALKAN REMBULAN

DITINGGALKAN REMBULAN
Oleh: Edo Permadi

Malam berjalan teguh, tak mau diganggu
Aku terbit bersama matahari
Aku menangis bersama matahari
Merasa galah mengayuh jauh
Aku butuh rembulan.

Sapa aku malam
Dan pangkulah pengakuanku
berpanjang, bermalam.

Hati bersimpuh
Aku butuh namamu
Jangan buang aku dalam keterasingan diri
Aku masih butuh teman disini.

Air mata pasrah membisu dirajam lamunan
Semakin sadar saja aku
Disini cerita kita harus berlomba
Menaklukkan masa depan.

Yogyakarta, 29 April 2009

HEI

HEI
Oleh: Edo Permadi

Perhatikan,
Pada teman-teman aku baris paling belakang
Cacat mental
Namaku tak sempat terbilang
Maka pagi atau malam
Aku dipanggil, Hei…

Perhatikan,
Rumahku jadi tempat ajang pembuktian
Barisan korban kapitalis,
Bangsaku gagah sekali, terbang dengan sayap bermotif bendera Amerika.

Perhartikan,
Tempat tidurku tanpa ranjang tanpa selimut
Bantal gulingku adalah marka-marka putih di tepi jalan.

Perhatikan,
Pada matahari dan bulan kami menyembah uang
Ibuku tak sempat menyusui adikku
Bapakku tak sempat memberikan nama untuk adikku
Maka pagi atau malam
Adikku dipanggil, Hei…

Yogyakarta, 20 Oktober 2009

KEKASIHKU YANG KEDINGINAN


KEKASIHKU YANG KEDINGINAN
Oleh: Edo Permadi

Kekasihku yang kedinginan
Keramaian kota yang suram telah membuatmu jumawa
Sekilas lupa sebuah rasa kehilangan
Melupakan tujuan dan jalan sucimu
     Kau perlahan membiarkannya terkubur menjadi jenazah tak berpusara
     Bolehkah aku berduka hati atas dirimu?

Kala pilu tengah membatu
Resah mulai bergentayangan, dan kau mulai menangis
Kau kikuk minta dibelai, minta nasihat.

Aku ingin kau berubah.

Jadi malam ini, tengadahkanlah kepalamu ke langit
Duduk manis dan berdoa
Kekasihku yang kedinginan,
Berdoalah dengan sejuta lirik air mata
Tuhan akan tersenyum, melihat hambanya yang mencoba
Semoga kau menjadi salah satu sudut senyum di bibir Tuhan.

Sleman, 23 Februari 2010

Minggu, 30 Oktober 2011

PENGEMBARA RENTA


PENGEMBARA RENTA
Oleh: Edo Permadi

Gelanggang sepi,
Kendalikanlah kemana kakiku pergi
Kenalilah aku lagi
Pengembara renta, lupa anak istri
Wajahku berjejal menghantu, sendirian dimakan kegaduhan
Di terminal, di stasiun, di pelabuhan dan di bandara
Kudengar sayup matahari menghakimi
Bersumpah mengenali wajahku, sebagai pencuri.

Kenalilah aku lagi
Walau kepala sudah berpaling
Cukup kau simak, jangan kau usik
Biarkan aku merasa sedih sendiri
Kala petak-petak kening rasanya seperti belukar
                                                       bergaris lebar
Sampai bercermin pun aku sudah tiada tegar.

Mana bisa aku kenali diri di dalam sulut api?
Aku diam, dibakar lagi, berjalan  memahami.

Tanjung Enim, 06 September 2011

HUTAN RIMBA


HUTAN RIMBA
Oleh: Edo Permadi

Gelinjang matahari duduk bersimpuh
Di tengah rimba ia berpadu
Menyetubuhi padi-padi.

Menjengkelkan.

Ini rimbaku ini kotamu
Ini rimbaku dibelenggu
Dan kotamu maju.

Sleman, 07 Oktober 2011

JIKA NYAWA SUDAH BICARA


JIKA NYAWA SUDAH BICARA
Oleh: Edo Permadi

Seekor anjing lunta, diluntakan lunta
Sukar membagi suara
Jadi dia tidak menggonggong minta tolong
Seekor anjing buta, dibutakan buta
Dia diam saja.

Bagaimana bisa suka, jika nyawa sudah dibaca?
Dan kematian berbicara: jadi menghantu
Seperti adzan, lima waktu adanya.

Seekor anjing mengalas tunduk
Pada malam bertaring, ia bertuan
Rapi melangkah sekitar makam
Sagan yang begitu ramai
Dengan bau amis ikan dan dekil anak jalanan
Baginya hanya hinaan, durja adanya.

Seekor anjing gundah, digundahkan gundah
Lompat girang sesampainya di kotak sampah
Ia lahap mengunyah sisa-sisa
Jasad nyawanya
Jadi, dia diam saja.

Yogyakarta, 25 September 2011

AMBISI MENAHUN


AMBISI MENAHUN
Oleh: Edo Permadi

Siang menggulung kening
Segala bentuk nyawa berkumpul di kepala
Hanya pemuja mengada-ada
Di doanya setiap permadi, sepertiku
Terombang-ambing dikikis debaran kaki berdesing.

Sebentuk gunung
Di hatinya setiap permadi, sepertiku
Adalah ambisi, menahun..
Sepanjang musim berdebu kukenal
Baru kali ini ia bergolak digoda bujang
Di malamnya setiap permadi, sepertiku
Tidur dan diperkosa api
Adalah kebahagian lain di sisi shubuh
Hangus puisiku.

Yogyakarta, 29 September 2009

Jumat, 28 Oktober 2011

NASIB SEPASANG TIKUS

NASIB SEPASANG TIKUS
Oleh: Edo Permadi

Dua tikus mati di tikungan sepulang tarawih
Mana jantan mana betina
          Bisakah kau kenali rupanya, araklah sampai kuburan
          Didoakan oleh seribu imam yang bisu
Tamatlah,
Tahun ini Ramadhan hanya kehampaan baginya
Baik kiranya menjadi mereka, aku ingin.

Yogyakarta, 05 Agustus 2011

MAWADAH

MAWADAH
Oleh: Edo Permadi

Leduk matahari kayuh-mengayuh
Di jurang-jurang pantai
parasmu mekar
Dikebat hangat suara ombak
Mata kita diam, kembara, panjang merangkak.

Selongsong mendung meretas jadi bunyi
Masuk ke kepala dan jadi tumtam
Mataku jadi kenal, menyapa
Serupa anak burung
Serupa letusan gunung
Aku diam.

Di balik kewibawaan langit
Tangan kita bergenggam, berdarah
Menyisakan beberapa kalut kering usar hutan
Rapi baris, menelikung di pipi perbukitan
                                    dan kita tersenyum, diam membagi kasih di dalam kazanah.

Yogyakarta, 28 Oktober 2011

Kamis, 20 Oktober 2011

BENDERA HITAM DI GERBANG REFORMASI

BENDERA HITAM DI GERBANG REFORMASI
Oleh: Edo Permadi

Jakarta, Februari 1997
Baru-baru kini aku sadar, bahwa Jakarta luar biasa panasnya. Matahari seperti makin buas dan terlihat kelaparan. Dari kening hingga tengkuk keringatku tak berhenti meleleh dan tak berhenti pula kuseka, perlahan-lahan basah kuyup juga sapu tangan merahku, sapu tangan bergambar naga barongsai, kenang-kenangan dari Almarhum pamanku. Di depan toko perhiasan milik orang tuaku ini jelas sekali terlihat aspal kota Jakarta yang menguap merintih, dan mereka yang setia di bibir jalan masih khusyuk saja menengadah meminta iba dari barisan mobil-mobil mewah.
Genap sudah enam bulan aktivitas di toko makin padat, ini memunculkan dilema pribadi untukku. Bayangkan saja tengah hari sepulang sekolah aku diminta Ibu untuk membantu melayani pelanggan. Memang aku tidak canggung dengan pekerjaan semacam ini, karena sudah sejak SMP aku sering membantu Ibu dengan segala macam aktivitasnya di toko. Tetapi dalam minggu ini aku benar-benar disibukkan dengan ulangan harian di sekolah, waktuku untuk belajar harus tersita.
Setelah makan siang, aku dan Ibu masih disibukkan dengan pelanggan. Dalam hati, rasanya jengah makin panas saja uapnya, aku letih dan ingin istirahat sebentar saja. Akhirnya setelah dua jam berselang aku bisa tersenyum lepas.
“pelanggan sudah tidak ada lagi, itu artinya aku bisa istirahat” teriak batinku puas.
“bu, Aling perhatikan kenapa banyak sekali mereka yang menggadaikan perhiasan ataupun menjual perhiasannya ya? padahal beberapa bulan ini rupiah nggak jelas posisinya, kadang diatas dan kadang cepat sekali sudah dibawah” aku memecah kebisuan, dan coba membuka pembicaraan dengan Ibu yang sedari tadi masih sibuk dengan kalkulator ukuran jumbonya.
“kamu ini bukannya bersyukur, makin banyak yang datang ya makin maju saja usaha kita” Ibu menjawab dengan nada santai dan wajah yang masih terpaku pada angka-angka di kalkulatornya.
 “harga sembako melonjak naik, rupiah juga nggak jelas posisinya, makanya mereka banyak jual perhiasannya atau paling nggak menggadaikannya ke kita, mungkin untuk beli beras atau mungkin untuk beli minyak tanah” Ibu melanjutkan kalimatnya, sedikit ada senyum ledekan di akhir kalimat Ibu.

*****
Semarang, Mei 1998
            Sudah hampir tiga jam aku terisak-isak dalam tangis, tepukul dengan seribu kali pukulan yang kerasnya seperti ditabrak kereta api, jantungku hampir berhenti berdetak. Aku adalah orang tua yang tak berdaya. Suamiku kulihat masih sibuk menelpon Aling yang kami tinggal di Jakarta sendirian. Ia sangat panik, benar-benar panik. Jelas sekali nampak di sudut-sudut mata suamiku lahir setetes air bening, jatuh dengan deras tanpa tertahan. Aku yakin hatinya pun sama hancurnya seperti hatiku.
            Satu minggu yang lalu tepatnya tanggal 29 April, aku dan suamiku berangkat ke Semarang, ada undangan pernikahan dari teman akrab suamiku semasa dulu kuliah ekonomi di UGM. Tujuanku ke Semarang bukan hanya itu, aku dan suamiku berencana juga mampir ke rumah beberapa sanak keluarga yang ada di Semarang. Hitung-hitung silahturahmi maksudnya.
            “Aling, kalau izin satu minggu kira-kira terlalu lama nggak ya? Ibu rencananya dengan Ayah mau ke Semarang besok dan mungkin baru bisa pulang pekan depan” itu kalimatku seminggu sebelum aku berangkat bersama suamiku menuju Semarang.
            “nggak ah Bu, Aling sibuk nih… ada tugas kelompok dari guru, lagi pula sudah kelas 3 SMA masa` takut ditinggal sendirian? Aling udah gede” Aling menjawab dengan enteng, aku tahu jawabannya itu tidak mau membuatku merasa terbebani selama berpergian.
            “ya sudah kalau ada apa-apa kamu bilang aja ke Mbok Risa, tapi dua hari lagi juga Mbok Risa minta izin libur sebulan, anaknya sakit di kampung. kalau kamu perlu uang Ibu sudah siapkan semua di lemari Ibu, ambil seperlunya aja, jangan boros” suaraku makin tegas pada Aling.
            Tetapi kini dunia seperti tak bergerak. Hancur, remuk dan tak terjumlahkan lagi sakitnya. Pagi tadi aku melihat berita di televisi tentang kasus-kasus penjarahan massal di Jakarta, dan tujuannya adalah orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa. Rumah, pertokoan, apartemen, dan keluarga yang turunan Tionghoa menjadi fokus penjarahan. Alasannya adalah kami kaum Tionghoa yang mempunyai usaha ekonomi menengah ke atas dinilai sebagai pengendali kebijakan harga pasar dan sebagai penjajah kaum ekonomi bawah.
            Sudah tiga puluh menit suamiku coba menghubungi Aling via telepon rumah, tetapi tak ada respon dari Aling. Jiwa keibuanku jelas sekali merasa ada hal yang tidak beres terhadap putri semata wayangku itu. Jujur aku ingin sekarang juga pulang ke Jakarta. Tetapi keadaan di Jakarta tidak memungkinkan untuk itu. Demo akbar mahasiswa yang ingin Soeharto lengser membuat atmosfer Jakarta jauh lebih gila daripada biasanya. Salah-salah aku dan suamiku bisa jadi bulan-bulanan mereka yang benci orang turunan Cina. Inilah yang benar-benar membuatku tak bisa memaafkan diriku sendiri. Aku memang orang tua yang tak berdaya.

*****

Jakarta, November 2009
            Di sebuah ruangan kosong Aling seorang diri, ia nampak diam sembari menahan sembab yang menebal di lingkaran mata, hitam warnaya. Aling duduk di ranjang dengan selimut yang menutupi hingga pinggang, matanya kosong menatapi selimut putihnya. Rambutnya memanjang hingga dada, dan terlihat berantakan. Sepertinya ada yang ingin ia katakan, tetapi mulutnya tak juga bersuara.
            “itu Ibumu Wan, berikan senyummu yang paling indah untuknya” ucapku pada Wawan, anak Aling yang sudah kelas 5 SD.
            “iya nek, Ibu kok diam aja ya dari tadi, kita bawa pulang aja yuk nek” Wawan menjawab dengan lugu, dan itu semakin mengoyak perasaanku, perasaan dari orang tua, sekaligus nenek yang tak berdaya.
            Pada tragedi Mei 1998 dulu, Aling berada di rumah sendirian. Hari Selasa di minggu pertama bulan Mei ruas-ruas jalan-jalan Ibu Kota makin ramai dengan aksi mahasiswa dan gerakan rakyat yang antipati terhadap rezim Soeharto. Inilah puncak dari krisis moneter yang melanda sejak awal 1997. Mereka yang jenuh dengan Soeharto melakukan demo akbar dan bakar-bakar ban. Menantang senjata aparat dengan teriakan-teriakan semangat reformasi. Gedung MPR ditunggangi ribuan mahasiswa, tujuan utamanya adalah Soeharto harus pergi dari Istana. Tujuan revolusioner yang akhirnya tercapai. Tetapi yang membuat perjuangan suci reformasi itu ternoda adalah adanya oknum dari pihak rakyat yang berinisiatif memanfaatkan kesempatan yang tengah limbung. Penjarahan massal adalah salah satunya.
            Aling putuskan tidak sekolah hari itu, dia takut keluar rumah. Dua hari sebelumnya Aling mendengar isu-isu yang tidak enak, terhadap sikap oknum tertentu yang akan melakukan penjarahan massal. Walau telah mengunci diri di rumah, Aling tetap waspada. Dan ternyata benar, ketakutan yang ditakuti Aling datang juga menghampiri.
            Di luar toko ada beberapa laki-laki dewasa yang berteriak minta dibukakan pintu toko. Rumahku dan toko memang menjadi satu, aku dan keluargaku tinggal di lantai dua. Dari jendela kamar atas Aling melihat sembilan laki-laki membawa kayu dan rantai serta pisau kecil di pinggang. Aling takut sekali, apalagi di rumah dia hanya sendirian.
            “Cina sok kaya, mau keluar atau kaca tokomu aku pecahkan, kami lempar minyak dan kami bakar” teriak salah seorang diantara mereka.
            Dan benar mereka tidak sabar lagi, segera mereka pecahkan kaca jendela toko perhiasan kami, pintunya diterjang-terjang dengan kayu balok. Pintu pun tak bertahan akibat sergapan brandalan itu, pintu dicongkel dengan parang dari bawah. Toko pun akhirnya terbuka dengan paksa.
            Mereka mengambil semua perhiasan, televisi, uang dan barang-barang berharga lainnya. Mereka naik ke lantai atas, mereka menemukan Aling di sana. Dan Aling diperkosa bergiliran di lantai atas rumahnya sendiri. Tanggal 7 aku dan suamiku nekat pulang ke Jakarta, aku dapati semuanya rusak, termasuk Aling.
            Aling nampak shock berat sejak saat itu, setahun setelahnya Aling melahirkan anaknya. Anak dari kesembilan brandalan yang memperkosa Aling. Wawan nama anak itu, yang kini kupeluk jari-jarinya dengan penuh kasih sayang. Andai ia tanya siapa ayahnya, kebohongan apa yang paling baik kurekayasa untuknya?

*****

SANG AKU

SANG AKU

Oleh: Edo Permadi

Aku tak pantas seperti ini,
Tetapi setelah aku pulang
Dan melihat berita
Aku sadar…
Dunia butuh orang seperti ini.

Bantul, Juni 2008

SALAM UNTUK ANAK-ANAK KITA

SALAM UNTUK ANAK-ANAK KITA
Oleh: Edo Permadi

Salam untuk anak-anak kita
Yang masih tertidur pulas di surga
Nafas-nafas keyakinan kita
Akan mampu membangunkannya
Suatu saat nanti…
Suatu saat pasti…
Bersama cinta kita, di dunia yang indah.

Sleman, Desember 2009

SEKALI RUPA TERTULIS

SEKALI RUPA TERTULIS
Oleh: Edo Permadi

Sekali rupa tertulis
Kertasku mustahil terhapus
Apalagi putih sediakala?
Kadangkala tanganku dikebat arahnya
Menulis kebaikan ibadah dan teladan perang
Menyeru takbir dan adzan kalah sumbang,
Sekali rupa tertulis
Kertasku tak berhenti menangis.

Keesokan hari,
Aku putuskan berhenti menulis
Kertasku membentak, menyental ingin menujah
Minta ditiduri, tentu dengan puisi.

Hari ini,
Namaku tak lagi benderang di langit
Apalagi indah sediakala?
Segala laku, memangku resah matahari di tubir pintu
Tayub-temayub dipamiti waktu
Aku tidak berdaya.

Tetapi aku tak berhenti menulis, tentu sejuta puisi
Seorang diri.

Bantul, 05 Maret 2010