Kamis, 20 Oktober 2011

BENDERA HITAM DI GERBANG REFORMASI

BENDERA HITAM DI GERBANG REFORMASI
Oleh: Edo Permadi

Jakarta, Februari 1997
Baru-baru kini aku sadar, bahwa Jakarta luar biasa panasnya. Matahari seperti makin buas dan terlihat kelaparan. Dari kening hingga tengkuk keringatku tak berhenti meleleh dan tak berhenti pula kuseka, perlahan-lahan basah kuyup juga sapu tangan merahku, sapu tangan bergambar naga barongsai, kenang-kenangan dari Almarhum pamanku. Di depan toko perhiasan milik orang tuaku ini jelas sekali terlihat aspal kota Jakarta yang menguap merintih, dan mereka yang setia di bibir jalan masih khusyuk saja menengadah meminta iba dari barisan mobil-mobil mewah.
Genap sudah enam bulan aktivitas di toko makin padat, ini memunculkan dilema pribadi untukku. Bayangkan saja tengah hari sepulang sekolah aku diminta Ibu untuk membantu melayani pelanggan. Memang aku tidak canggung dengan pekerjaan semacam ini, karena sudah sejak SMP aku sering membantu Ibu dengan segala macam aktivitasnya di toko. Tetapi dalam minggu ini aku benar-benar disibukkan dengan ulangan harian di sekolah, waktuku untuk belajar harus tersita.
Setelah makan siang, aku dan Ibu masih disibukkan dengan pelanggan. Dalam hati, rasanya jengah makin panas saja uapnya, aku letih dan ingin istirahat sebentar saja. Akhirnya setelah dua jam berselang aku bisa tersenyum lepas.
“pelanggan sudah tidak ada lagi, itu artinya aku bisa istirahat” teriak batinku puas.
“bu, Aling perhatikan kenapa banyak sekali mereka yang menggadaikan perhiasan ataupun menjual perhiasannya ya? padahal beberapa bulan ini rupiah nggak jelas posisinya, kadang diatas dan kadang cepat sekali sudah dibawah” aku memecah kebisuan, dan coba membuka pembicaraan dengan Ibu yang sedari tadi masih sibuk dengan kalkulator ukuran jumbonya.
“kamu ini bukannya bersyukur, makin banyak yang datang ya makin maju saja usaha kita” Ibu menjawab dengan nada santai dan wajah yang masih terpaku pada angka-angka di kalkulatornya.
 “harga sembako melonjak naik, rupiah juga nggak jelas posisinya, makanya mereka banyak jual perhiasannya atau paling nggak menggadaikannya ke kita, mungkin untuk beli beras atau mungkin untuk beli minyak tanah” Ibu melanjutkan kalimatnya, sedikit ada senyum ledekan di akhir kalimat Ibu.

*****
Semarang, Mei 1998
            Sudah hampir tiga jam aku terisak-isak dalam tangis, tepukul dengan seribu kali pukulan yang kerasnya seperti ditabrak kereta api, jantungku hampir berhenti berdetak. Aku adalah orang tua yang tak berdaya. Suamiku kulihat masih sibuk menelpon Aling yang kami tinggal di Jakarta sendirian. Ia sangat panik, benar-benar panik. Jelas sekali nampak di sudut-sudut mata suamiku lahir setetes air bening, jatuh dengan deras tanpa tertahan. Aku yakin hatinya pun sama hancurnya seperti hatiku.
            Satu minggu yang lalu tepatnya tanggal 29 April, aku dan suamiku berangkat ke Semarang, ada undangan pernikahan dari teman akrab suamiku semasa dulu kuliah ekonomi di UGM. Tujuanku ke Semarang bukan hanya itu, aku dan suamiku berencana juga mampir ke rumah beberapa sanak keluarga yang ada di Semarang. Hitung-hitung silahturahmi maksudnya.
            “Aling, kalau izin satu minggu kira-kira terlalu lama nggak ya? Ibu rencananya dengan Ayah mau ke Semarang besok dan mungkin baru bisa pulang pekan depan” itu kalimatku seminggu sebelum aku berangkat bersama suamiku menuju Semarang.
            “nggak ah Bu, Aling sibuk nih… ada tugas kelompok dari guru, lagi pula sudah kelas 3 SMA masa` takut ditinggal sendirian? Aling udah gede” Aling menjawab dengan enteng, aku tahu jawabannya itu tidak mau membuatku merasa terbebani selama berpergian.
            “ya sudah kalau ada apa-apa kamu bilang aja ke Mbok Risa, tapi dua hari lagi juga Mbok Risa minta izin libur sebulan, anaknya sakit di kampung. kalau kamu perlu uang Ibu sudah siapkan semua di lemari Ibu, ambil seperlunya aja, jangan boros” suaraku makin tegas pada Aling.
            Tetapi kini dunia seperti tak bergerak. Hancur, remuk dan tak terjumlahkan lagi sakitnya. Pagi tadi aku melihat berita di televisi tentang kasus-kasus penjarahan massal di Jakarta, dan tujuannya adalah orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa. Rumah, pertokoan, apartemen, dan keluarga yang turunan Tionghoa menjadi fokus penjarahan. Alasannya adalah kami kaum Tionghoa yang mempunyai usaha ekonomi menengah ke atas dinilai sebagai pengendali kebijakan harga pasar dan sebagai penjajah kaum ekonomi bawah.
            Sudah tiga puluh menit suamiku coba menghubungi Aling via telepon rumah, tetapi tak ada respon dari Aling. Jiwa keibuanku jelas sekali merasa ada hal yang tidak beres terhadap putri semata wayangku itu. Jujur aku ingin sekarang juga pulang ke Jakarta. Tetapi keadaan di Jakarta tidak memungkinkan untuk itu. Demo akbar mahasiswa yang ingin Soeharto lengser membuat atmosfer Jakarta jauh lebih gila daripada biasanya. Salah-salah aku dan suamiku bisa jadi bulan-bulanan mereka yang benci orang turunan Cina. Inilah yang benar-benar membuatku tak bisa memaafkan diriku sendiri. Aku memang orang tua yang tak berdaya.

*****

Jakarta, November 2009
            Di sebuah ruangan kosong Aling seorang diri, ia nampak diam sembari menahan sembab yang menebal di lingkaran mata, hitam warnaya. Aling duduk di ranjang dengan selimut yang menutupi hingga pinggang, matanya kosong menatapi selimut putihnya. Rambutnya memanjang hingga dada, dan terlihat berantakan. Sepertinya ada yang ingin ia katakan, tetapi mulutnya tak juga bersuara.
            “itu Ibumu Wan, berikan senyummu yang paling indah untuknya” ucapku pada Wawan, anak Aling yang sudah kelas 5 SD.
            “iya nek, Ibu kok diam aja ya dari tadi, kita bawa pulang aja yuk nek” Wawan menjawab dengan lugu, dan itu semakin mengoyak perasaanku, perasaan dari orang tua, sekaligus nenek yang tak berdaya.
            Pada tragedi Mei 1998 dulu, Aling berada di rumah sendirian. Hari Selasa di minggu pertama bulan Mei ruas-ruas jalan-jalan Ibu Kota makin ramai dengan aksi mahasiswa dan gerakan rakyat yang antipati terhadap rezim Soeharto. Inilah puncak dari krisis moneter yang melanda sejak awal 1997. Mereka yang jenuh dengan Soeharto melakukan demo akbar dan bakar-bakar ban. Menantang senjata aparat dengan teriakan-teriakan semangat reformasi. Gedung MPR ditunggangi ribuan mahasiswa, tujuan utamanya adalah Soeharto harus pergi dari Istana. Tujuan revolusioner yang akhirnya tercapai. Tetapi yang membuat perjuangan suci reformasi itu ternoda adalah adanya oknum dari pihak rakyat yang berinisiatif memanfaatkan kesempatan yang tengah limbung. Penjarahan massal adalah salah satunya.
            Aling putuskan tidak sekolah hari itu, dia takut keluar rumah. Dua hari sebelumnya Aling mendengar isu-isu yang tidak enak, terhadap sikap oknum tertentu yang akan melakukan penjarahan massal. Walau telah mengunci diri di rumah, Aling tetap waspada. Dan ternyata benar, ketakutan yang ditakuti Aling datang juga menghampiri.
            Di luar toko ada beberapa laki-laki dewasa yang berteriak minta dibukakan pintu toko. Rumahku dan toko memang menjadi satu, aku dan keluargaku tinggal di lantai dua. Dari jendela kamar atas Aling melihat sembilan laki-laki membawa kayu dan rantai serta pisau kecil di pinggang. Aling takut sekali, apalagi di rumah dia hanya sendirian.
            “Cina sok kaya, mau keluar atau kaca tokomu aku pecahkan, kami lempar minyak dan kami bakar” teriak salah seorang diantara mereka.
            Dan benar mereka tidak sabar lagi, segera mereka pecahkan kaca jendela toko perhiasan kami, pintunya diterjang-terjang dengan kayu balok. Pintu pun tak bertahan akibat sergapan brandalan itu, pintu dicongkel dengan parang dari bawah. Toko pun akhirnya terbuka dengan paksa.
            Mereka mengambil semua perhiasan, televisi, uang dan barang-barang berharga lainnya. Mereka naik ke lantai atas, mereka menemukan Aling di sana. Dan Aling diperkosa bergiliran di lantai atas rumahnya sendiri. Tanggal 7 aku dan suamiku nekat pulang ke Jakarta, aku dapati semuanya rusak, termasuk Aling.
            Aling nampak shock berat sejak saat itu, setahun setelahnya Aling melahirkan anaknya. Anak dari kesembilan brandalan yang memperkosa Aling. Wawan nama anak itu, yang kini kupeluk jari-jarinya dengan penuh kasih sayang. Andai ia tanya siapa ayahnya, kebohongan apa yang paling baik kurekayasa untuknya?

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar