Minggu, 30 Oktober 2011

PENGEMBARA RENTA


PENGEMBARA RENTA
Oleh: Edo Permadi

Gelanggang sepi,
Kendalikanlah kemana kakiku pergi
Kenalilah aku lagi
Pengembara renta, lupa anak istri
Wajahku berjejal menghantu, sendirian dimakan kegaduhan
Di terminal, di stasiun, di pelabuhan dan di bandara
Kudengar sayup matahari menghakimi
Bersumpah mengenali wajahku, sebagai pencuri.

Kenalilah aku lagi
Walau kepala sudah berpaling
Cukup kau simak, jangan kau usik
Biarkan aku merasa sedih sendiri
Kala petak-petak kening rasanya seperti belukar
                                                       bergaris lebar
Sampai bercermin pun aku sudah tiada tegar.

Mana bisa aku kenali diri di dalam sulut api?
Aku diam, dibakar lagi, berjalan  memahami.

Tanjung Enim, 06 September 2011

HUTAN RIMBA


HUTAN RIMBA
Oleh: Edo Permadi

Gelinjang matahari duduk bersimpuh
Di tengah rimba ia berpadu
Menyetubuhi padi-padi.

Menjengkelkan.

Ini rimbaku ini kotamu
Ini rimbaku dibelenggu
Dan kotamu maju.

Sleman, 07 Oktober 2011

JIKA NYAWA SUDAH BICARA


JIKA NYAWA SUDAH BICARA
Oleh: Edo Permadi

Seekor anjing lunta, diluntakan lunta
Sukar membagi suara
Jadi dia tidak menggonggong minta tolong
Seekor anjing buta, dibutakan buta
Dia diam saja.

Bagaimana bisa suka, jika nyawa sudah dibaca?
Dan kematian berbicara: jadi menghantu
Seperti adzan, lima waktu adanya.

Seekor anjing mengalas tunduk
Pada malam bertaring, ia bertuan
Rapi melangkah sekitar makam
Sagan yang begitu ramai
Dengan bau amis ikan dan dekil anak jalanan
Baginya hanya hinaan, durja adanya.

Seekor anjing gundah, digundahkan gundah
Lompat girang sesampainya di kotak sampah
Ia lahap mengunyah sisa-sisa
Jasad nyawanya
Jadi, dia diam saja.

Yogyakarta, 25 September 2011

AMBISI MENAHUN


AMBISI MENAHUN
Oleh: Edo Permadi

Siang menggulung kening
Segala bentuk nyawa berkumpul di kepala
Hanya pemuja mengada-ada
Di doanya setiap permadi, sepertiku
Terombang-ambing dikikis debaran kaki berdesing.

Sebentuk gunung
Di hatinya setiap permadi, sepertiku
Adalah ambisi, menahun..
Sepanjang musim berdebu kukenal
Baru kali ini ia bergolak digoda bujang
Di malamnya setiap permadi, sepertiku
Tidur dan diperkosa api
Adalah kebahagian lain di sisi shubuh
Hangus puisiku.

Yogyakarta, 29 September 2009

Jumat, 28 Oktober 2011

NASIB SEPASANG TIKUS

NASIB SEPASANG TIKUS
Oleh: Edo Permadi

Dua tikus mati di tikungan sepulang tarawih
Mana jantan mana betina
          Bisakah kau kenali rupanya, araklah sampai kuburan
          Didoakan oleh seribu imam yang bisu
Tamatlah,
Tahun ini Ramadhan hanya kehampaan baginya
Baik kiranya menjadi mereka, aku ingin.

Yogyakarta, 05 Agustus 2011

MAWADAH

MAWADAH
Oleh: Edo Permadi

Leduk matahari kayuh-mengayuh
Di jurang-jurang pantai
parasmu mekar
Dikebat hangat suara ombak
Mata kita diam, kembara, panjang merangkak.

Selongsong mendung meretas jadi bunyi
Masuk ke kepala dan jadi tumtam
Mataku jadi kenal, menyapa
Serupa anak burung
Serupa letusan gunung
Aku diam.

Di balik kewibawaan langit
Tangan kita bergenggam, berdarah
Menyisakan beberapa kalut kering usar hutan
Rapi baris, menelikung di pipi perbukitan
                                    dan kita tersenyum, diam membagi kasih di dalam kazanah.

Yogyakarta, 28 Oktober 2011

Kamis, 20 Oktober 2011

BENDERA HITAM DI GERBANG REFORMASI

BENDERA HITAM DI GERBANG REFORMASI
Oleh: Edo Permadi

Jakarta, Februari 1997
Baru-baru kini aku sadar, bahwa Jakarta luar biasa panasnya. Matahari seperti makin buas dan terlihat kelaparan. Dari kening hingga tengkuk keringatku tak berhenti meleleh dan tak berhenti pula kuseka, perlahan-lahan basah kuyup juga sapu tangan merahku, sapu tangan bergambar naga barongsai, kenang-kenangan dari Almarhum pamanku. Di depan toko perhiasan milik orang tuaku ini jelas sekali terlihat aspal kota Jakarta yang menguap merintih, dan mereka yang setia di bibir jalan masih khusyuk saja menengadah meminta iba dari barisan mobil-mobil mewah.
Genap sudah enam bulan aktivitas di toko makin padat, ini memunculkan dilema pribadi untukku. Bayangkan saja tengah hari sepulang sekolah aku diminta Ibu untuk membantu melayani pelanggan. Memang aku tidak canggung dengan pekerjaan semacam ini, karena sudah sejak SMP aku sering membantu Ibu dengan segala macam aktivitasnya di toko. Tetapi dalam minggu ini aku benar-benar disibukkan dengan ulangan harian di sekolah, waktuku untuk belajar harus tersita.
Setelah makan siang, aku dan Ibu masih disibukkan dengan pelanggan. Dalam hati, rasanya jengah makin panas saja uapnya, aku letih dan ingin istirahat sebentar saja. Akhirnya setelah dua jam berselang aku bisa tersenyum lepas.
“pelanggan sudah tidak ada lagi, itu artinya aku bisa istirahat” teriak batinku puas.
“bu, Aling perhatikan kenapa banyak sekali mereka yang menggadaikan perhiasan ataupun menjual perhiasannya ya? padahal beberapa bulan ini rupiah nggak jelas posisinya, kadang diatas dan kadang cepat sekali sudah dibawah” aku memecah kebisuan, dan coba membuka pembicaraan dengan Ibu yang sedari tadi masih sibuk dengan kalkulator ukuran jumbonya.
“kamu ini bukannya bersyukur, makin banyak yang datang ya makin maju saja usaha kita” Ibu menjawab dengan nada santai dan wajah yang masih terpaku pada angka-angka di kalkulatornya.
 “harga sembako melonjak naik, rupiah juga nggak jelas posisinya, makanya mereka banyak jual perhiasannya atau paling nggak menggadaikannya ke kita, mungkin untuk beli beras atau mungkin untuk beli minyak tanah” Ibu melanjutkan kalimatnya, sedikit ada senyum ledekan di akhir kalimat Ibu.

*****
Semarang, Mei 1998
            Sudah hampir tiga jam aku terisak-isak dalam tangis, tepukul dengan seribu kali pukulan yang kerasnya seperti ditabrak kereta api, jantungku hampir berhenti berdetak. Aku adalah orang tua yang tak berdaya. Suamiku kulihat masih sibuk menelpon Aling yang kami tinggal di Jakarta sendirian. Ia sangat panik, benar-benar panik. Jelas sekali nampak di sudut-sudut mata suamiku lahir setetes air bening, jatuh dengan deras tanpa tertahan. Aku yakin hatinya pun sama hancurnya seperti hatiku.
            Satu minggu yang lalu tepatnya tanggal 29 April, aku dan suamiku berangkat ke Semarang, ada undangan pernikahan dari teman akrab suamiku semasa dulu kuliah ekonomi di UGM. Tujuanku ke Semarang bukan hanya itu, aku dan suamiku berencana juga mampir ke rumah beberapa sanak keluarga yang ada di Semarang. Hitung-hitung silahturahmi maksudnya.
            “Aling, kalau izin satu minggu kira-kira terlalu lama nggak ya? Ibu rencananya dengan Ayah mau ke Semarang besok dan mungkin baru bisa pulang pekan depan” itu kalimatku seminggu sebelum aku berangkat bersama suamiku menuju Semarang.
            “nggak ah Bu, Aling sibuk nih… ada tugas kelompok dari guru, lagi pula sudah kelas 3 SMA masa` takut ditinggal sendirian? Aling udah gede” Aling menjawab dengan enteng, aku tahu jawabannya itu tidak mau membuatku merasa terbebani selama berpergian.
            “ya sudah kalau ada apa-apa kamu bilang aja ke Mbok Risa, tapi dua hari lagi juga Mbok Risa minta izin libur sebulan, anaknya sakit di kampung. kalau kamu perlu uang Ibu sudah siapkan semua di lemari Ibu, ambil seperlunya aja, jangan boros” suaraku makin tegas pada Aling.
            Tetapi kini dunia seperti tak bergerak. Hancur, remuk dan tak terjumlahkan lagi sakitnya. Pagi tadi aku melihat berita di televisi tentang kasus-kasus penjarahan massal di Jakarta, dan tujuannya adalah orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa. Rumah, pertokoan, apartemen, dan keluarga yang turunan Tionghoa menjadi fokus penjarahan. Alasannya adalah kami kaum Tionghoa yang mempunyai usaha ekonomi menengah ke atas dinilai sebagai pengendali kebijakan harga pasar dan sebagai penjajah kaum ekonomi bawah.
            Sudah tiga puluh menit suamiku coba menghubungi Aling via telepon rumah, tetapi tak ada respon dari Aling. Jiwa keibuanku jelas sekali merasa ada hal yang tidak beres terhadap putri semata wayangku itu. Jujur aku ingin sekarang juga pulang ke Jakarta. Tetapi keadaan di Jakarta tidak memungkinkan untuk itu. Demo akbar mahasiswa yang ingin Soeharto lengser membuat atmosfer Jakarta jauh lebih gila daripada biasanya. Salah-salah aku dan suamiku bisa jadi bulan-bulanan mereka yang benci orang turunan Cina. Inilah yang benar-benar membuatku tak bisa memaafkan diriku sendiri. Aku memang orang tua yang tak berdaya.

*****

Jakarta, November 2009
            Di sebuah ruangan kosong Aling seorang diri, ia nampak diam sembari menahan sembab yang menebal di lingkaran mata, hitam warnaya. Aling duduk di ranjang dengan selimut yang menutupi hingga pinggang, matanya kosong menatapi selimut putihnya. Rambutnya memanjang hingga dada, dan terlihat berantakan. Sepertinya ada yang ingin ia katakan, tetapi mulutnya tak juga bersuara.
            “itu Ibumu Wan, berikan senyummu yang paling indah untuknya” ucapku pada Wawan, anak Aling yang sudah kelas 5 SD.
            “iya nek, Ibu kok diam aja ya dari tadi, kita bawa pulang aja yuk nek” Wawan menjawab dengan lugu, dan itu semakin mengoyak perasaanku, perasaan dari orang tua, sekaligus nenek yang tak berdaya.
            Pada tragedi Mei 1998 dulu, Aling berada di rumah sendirian. Hari Selasa di minggu pertama bulan Mei ruas-ruas jalan-jalan Ibu Kota makin ramai dengan aksi mahasiswa dan gerakan rakyat yang antipati terhadap rezim Soeharto. Inilah puncak dari krisis moneter yang melanda sejak awal 1997. Mereka yang jenuh dengan Soeharto melakukan demo akbar dan bakar-bakar ban. Menantang senjata aparat dengan teriakan-teriakan semangat reformasi. Gedung MPR ditunggangi ribuan mahasiswa, tujuan utamanya adalah Soeharto harus pergi dari Istana. Tujuan revolusioner yang akhirnya tercapai. Tetapi yang membuat perjuangan suci reformasi itu ternoda adalah adanya oknum dari pihak rakyat yang berinisiatif memanfaatkan kesempatan yang tengah limbung. Penjarahan massal adalah salah satunya.
            Aling putuskan tidak sekolah hari itu, dia takut keluar rumah. Dua hari sebelumnya Aling mendengar isu-isu yang tidak enak, terhadap sikap oknum tertentu yang akan melakukan penjarahan massal. Walau telah mengunci diri di rumah, Aling tetap waspada. Dan ternyata benar, ketakutan yang ditakuti Aling datang juga menghampiri.
            Di luar toko ada beberapa laki-laki dewasa yang berteriak minta dibukakan pintu toko. Rumahku dan toko memang menjadi satu, aku dan keluargaku tinggal di lantai dua. Dari jendela kamar atas Aling melihat sembilan laki-laki membawa kayu dan rantai serta pisau kecil di pinggang. Aling takut sekali, apalagi di rumah dia hanya sendirian.
            “Cina sok kaya, mau keluar atau kaca tokomu aku pecahkan, kami lempar minyak dan kami bakar” teriak salah seorang diantara mereka.
            Dan benar mereka tidak sabar lagi, segera mereka pecahkan kaca jendela toko perhiasan kami, pintunya diterjang-terjang dengan kayu balok. Pintu pun tak bertahan akibat sergapan brandalan itu, pintu dicongkel dengan parang dari bawah. Toko pun akhirnya terbuka dengan paksa.
            Mereka mengambil semua perhiasan, televisi, uang dan barang-barang berharga lainnya. Mereka naik ke lantai atas, mereka menemukan Aling di sana. Dan Aling diperkosa bergiliran di lantai atas rumahnya sendiri. Tanggal 7 aku dan suamiku nekat pulang ke Jakarta, aku dapati semuanya rusak, termasuk Aling.
            Aling nampak shock berat sejak saat itu, setahun setelahnya Aling melahirkan anaknya. Anak dari kesembilan brandalan yang memperkosa Aling. Wawan nama anak itu, yang kini kupeluk jari-jarinya dengan penuh kasih sayang. Andai ia tanya siapa ayahnya, kebohongan apa yang paling baik kurekayasa untuknya?

*****

SANG AKU

SANG AKU

Oleh: Edo Permadi

Aku tak pantas seperti ini,
Tetapi setelah aku pulang
Dan melihat berita
Aku sadar…
Dunia butuh orang seperti ini.

Bantul, Juni 2008

SALAM UNTUK ANAK-ANAK KITA

SALAM UNTUK ANAK-ANAK KITA
Oleh: Edo Permadi

Salam untuk anak-anak kita
Yang masih tertidur pulas di surga
Nafas-nafas keyakinan kita
Akan mampu membangunkannya
Suatu saat nanti…
Suatu saat pasti…
Bersama cinta kita, di dunia yang indah.

Sleman, Desember 2009

SEKALI RUPA TERTULIS

SEKALI RUPA TERTULIS
Oleh: Edo Permadi

Sekali rupa tertulis
Kertasku mustahil terhapus
Apalagi putih sediakala?
Kadangkala tanganku dikebat arahnya
Menulis kebaikan ibadah dan teladan perang
Menyeru takbir dan adzan kalah sumbang,
Sekali rupa tertulis
Kertasku tak berhenti menangis.

Keesokan hari,
Aku putuskan berhenti menulis
Kertasku membentak, menyental ingin menujah
Minta ditiduri, tentu dengan puisi.

Hari ini,
Namaku tak lagi benderang di langit
Apalagi indah sediakala?
Segala laku, memangku resah matahari di tubir pintu
Tayub-temayub dipamiti waktu
Aku tidak berdaya.

Tetapi aku tak berhenti menulis, tentu sejuta puisi
Seorang diri.

Bantul, 05 Maret 2010

Rabu, 19 Oktober 2011

SUKMA SEGINI


SUKMA SEGINI
Oleh: Edo Permadi

Kendi fitnah dan gumpalan abu dendam
Dituang, sukma segini lenyap
Mengalir dibawa seribu kegigihan ikan seluang, kali
Sampai mana kujuang kaki
Berjalan menyudahi hidup
Lawalata, sayang sekali kau justru hidup tanpa mufakat.

Besarkan aku, Lawalata

Tegarkan aku, Lawalata.

Sekarang matahari merunduk gemetaran
Romansanya memaksa minta dikebumikan
Di laguh-lagahnya Laut Jawa.
Sukma segini bermuara
Masih tangkas menyebrangi, kubur
Berjalan menemui semesta.

Bantul, 19 Oktober 2011

JELASKAN KHIDMAT PADAKU


JELASKAN KHIDMAT PADAKU
Oleh: Edo Permadi

       “dengarlah, di halaman bendalamu kesungguhanku meletup: jetis
       jingga warnanya mengasap...”

Dengarlah gita mega di tubir pantai
Berpadu, mulai berterus-terang
Serasa khidmat padahal komprang.
       Sendawaku keluar, parau sekali, sesak sekali.

Bodoh sekali orang menatapku pendar
Serasa khidmat padahal tawar
Memang khidmat itu apa?
Langit bisu atau deras ombak di Parangtritis?
Gigil Merapi atau gincu kuda di Malioboro?
Belu belai puisi atau beliak mata hartawan?
Jadi mohon, jelaskanlah.

Mungkinkah, untukku yang lebih dari sekedar ikrab ini
Wajahmu yang pancang setajam bambu atau sejuput senyum ijab pengantin,
Adalah khidmat?
        Sendawaku gemetar, aku buta sekali dan semacamnya itu, kau tahu.

Yogyakarta, 02 Oktober 2011

LUBUK KAMAR


LUBUK KAMAR
Oleh: Edo Permadi

Jiwa,
Damailah tanpa gemetar lagi
Setangkai jaring laba-laba
Kugodai, kutanyai, dia tak membalasi
Aku marah setengah gila padanya.

Jiwa,
Inilah kamarku, kamar lusuh yang penuh ambisi
Disinilah aku selalu menepikan hati
Dan mencoba berdamai dengan matahari.

Jiwa,
Aku sudah tambun dengan kebisuan
Jangan ganggu,
Aku ingin tidur, lebih lama, lebih lama
Mimpi itu telah menagih untuk kudatangi.

Yogyakarta, 16 Agustus 2011

SAJAK KECIL DALAM BOSETA


SAJAK KECIL DALAM BOSETA
Oleh: Edo Permadi

Tataplah mataku,
Ini aku disini belum pergi
Katakan jika hatimu bukanlah braile
Untuk seorang kaswah sepertiku
Kaulah rumahku, akulah hajibnya
Akuilah.

Begitunya kalut
Setelah terjagaku hampir setahun ini: gamang
Dengan porak-poranda, pagi kudalangi
Agar santun wajah mojangmu berdegup lagi.
Dengan rindu, hening malam kugertaki
Biar saja kau jadi dara yang kujuang setengah mati
Kucintai,
Aku tidak peduli.

Aku ingin membawamu dengan jati diri
Pun disiksa jari novelis dan dibedil api sebaya
Aku tidak peduli.

Dalam boseta ini hiduplah
Kaulah batinnya, akulah lahirnya
Senyumlah, meski hati selalu dikadoi bahagia dan duka cita
Aku ingin kau serta, di dalamnya
Menerjang dan melebari sayapku
Untuk mengalahkan semua hal yang tak bisa kita lewati sendirian.

Yogyakarta, 03 Oktober 2011

BELUM PADAM LAKI-LAKI INI


BELUM PADAM LAKI-LAKI INI
Oleh: Edo Permadi

Nafas laki-laki ini tersengal, dimusuhi
Seketika cakrawala berubah bising
       keningnya: berpura nyala setengah mati
Diketuk tak menyapa, disapa apalagi
Musim berubah sekali.

Di tepi Gang Guru hati mulai gemetar dikemuli
Jala-jala apel berdebu,
Bayang-bayang matahari terbang
Di tengkuk yang keringatan, ia tumbuh membebani.

Belum padam laki-laki ini!
Kemeja hitamnya membusuk
Segunung, menggunung
Di tengkuk yang keringatan, ia tumbuh merunduk.

---benderangnya belum hilang, ia tumbuh menghibur diri.

Yogyakarta, 12 Oktober 2011

HAYO TARUNG


HAYO TARUNG
Oleh: Edo Permadi

Wajah meraung-raung, merah bara
Tenggelam tak berdaya, dalam segelas kelapa muda
Gelas itu bening, menyilaukan..
Di dalamnya kulihat matahari merana ditinggalkan haula
                                merapat, malu menjadi yatim.

--- kurang damai, akhir-akhir ini aku dijauhi intuisi
--- dipukau ahli kitab yang angkuh mengaji
                                dan minta dipuji.

Tirus di wajah jadi sekeras batu
Di dalam segelas kelapa muda, aku bersandar
Gelas itu bening, melumpuhkan..
Tinggalah lelah kuhirup satu persatu
Menepikan air mata dan kutarung itu pilu, satu persatu.

Sleman, 14 Oktober 2011

TEMPIAS LAMPU DERMAGA DI LAUT BAKAUHENI


TEMPIAS LAMPU DERMAGA DI LAUT BAKAUHENI
Oleh: Edo Permadi

Aku melulu melenggok
Mabuk tidak, sakit tidak
Di geladak, perasaan kalut kubawa berenang
Sampai ke seberang
Dan tenggelam di timpali gertakan ombak menantang.

Aku kalah garang
Garang tidak, teduh tidak
Di geladak yang meledak, diriku tak juga menemukan wajahnya
Sadarkan aku Bakauheni,
Dimana kiranya aku ini?

Tempias lampu dermaga yang malu-malu
Aku ajak  berbagi bisu
Satu-satu kuhitung kelipnya, sampai lebur di buritan
Aku ajak berbagi kegalauan
Sampai ke seberang.

Selat Sunda, 15 September 2011

LAYU


LAYU
Oleh: Edo Permadi

Tiup apimu
Aku sulut ke wajahmu
Kita jadi obor menyala.

Saling bakar di atas bantal, dipeluk guling kapuk
       Sejatinya kemarilah kita menolak tiada nama
       Berbesar dada pun tiada guna.

Tanjung Enim, 28 Agustus 2011

SEORANG HAMBA PINGITAN

SEORANG HAMBA PINGITAN
Oleh: Edo Permadi

Siddhartha Gautama apa kau kenal Yesus?
Apa pernah kau jumpai Muhammad,
                                 saat bergumul pedang dengan kafir-kafir mekkah?
Di nirwana, apakah kalian bersatu?
Saling sulang, sedangkan disini saling silang.

Bagaimana denganku yang kikuk memiliki satu dari kalian?
Apa lakonku, aku hanya sebutir hamba pingitan...

Hati diam berpamitan.

Yogyakarta, 19 Agustus 2011

HURUF TENGAH MALAM


HURUF TENGAH MALAM
Oleh: Edo Permadi

Kunang-kunang memutari kepala
Mengundang jasadku bangkit dari kuburnya
Pun siang, aku gentayangan.

R
 a
   t
    a
    p
  a
n.

K
  i
    l
  a
u.

Aku tidak akan menepi
Aku belum mati.

Yogyakarta, 17 Agustus 2011

LETUPAN RADIO TUA


LETUPAN RADIO TUA
Oleh: Edo Permadi

       “aku hanya ingin tinggal di alam dewata
        dengan sejarah sebagai dindingnya...”

Hingga berpuluh-puluh tahun
Radio terus menjual diri
Membela hati kuria.
Suaranya makin menggebu meninggalkan irama
Memukul telinga, membabi buta
Sebuah negeri menjadi diam
Ketakutan...
Menyembunyikan bencana.

Radio,
Beritakan pada bapakku,
Aku terbuang menanggung siksa
Jujur dikarang susah dipandang
Selamtkanlah...
Aku tiada jera.

Yogyakarta, 14 Agustus 2011

BALADA KAKI LIMA


BALADA KAKI LIMA
Oleh: Edo Permadi

Korek api kalah diserang lampu kota belum menyala ketika ashar hampir mencium senja lagi-lagi kita lupa bertukar nama
Siapakah anda pedagang kaki lima?
Kepala merunduk semakin dalam di pertigaan jalan kutemu lagi dirimu tengah berkaca-kaca memegang setumpuk koran
Siapakah anda pedagang koran?
Tidak saja tangan merasa dungu memapah wajah ke rumah sakit karena malu tumbuh menjadi sangat kronis di dalam perut
Siapakah anda pengemis lampu merah?
Bila keadaan sore tanpa gerimis yakin seperti lima tahun lalu saat ayah memangku di taman kota dan bernyanyi merdu
Siapakah anda anak yatim?

Aku dilahirkan di wajahmu dengan keringat dari ibu pertiwi tanpa berangsur membaik kami putuskan acuh
Siapakah anda tuan yang banyak bicara?

Yogyakarta, 25 Juli 2011

AKU MENEMUIMU ISTRIKU


AKU MENEMUIMU ISTRIKU
Oleh: Edo Permadi

Malam menyembunyikan langkahku
Derau hujan, tiba-tiba mengganas
Aku tak surut, pun dia menggelegar di kepalaku
Aku tak surut...
Di gerbang anjing-anjing buta ditinju kantuk: lelah membaca mantra
Aku menteleng tanpa terusik
Menemuimu.

Aku menemuimu istriku...
Di rimbun asap tengah malam, kau jawab lembut salamku
Tahukah kau, hatiku sudah jadi empedu?
Rindu sekali padamu.

Bunga melati yang menjaga pintumu, kurayu-rayu
Aku ingin malam ini
Kita kembali berbincang menangisi nasib kita
Bersabarlah disana,
Di rumah, bayi kita masih mengoek mencari bapaknya
Aku pulang dulu, esok kita kembali jumpa
Di samping pusaramu.

Bantul, 08 Agustus 2011

TEPI SAMUDERA


TEPI SAMUDERA
Oleh: Edo Permadi

Kemanapun tubuh menjadi anak tiri
Menepi sampai garis samudera
Tiada sempat terlunasi senyum ayahanda
Dunia kadung membuangku
Dalam kalutnya yang tiada kutungu-tunggu
Itu.

                    Biarlah demi darahku
                    Buah-buahan dari desa
                    Membusuk disetubuhi ulat
                    Tak berniat kujual sesampainya di kota.

                    Biarlah kulitku digigit matahari
                    Dan pantai menyungging, sumbing
                    Melihatku seperti benda pusaka
                    Hening di dalam peti mati.

                    Biarlah dari diam
                    Aku menelanjangi panorama
                    Kuhirup nafas panjang
                    Kutiup lautan, mengombak
                    Dipeluk langit, mega mendung.

Kemanapun tubuh menjadi anak tiri
Tertinggal dan disia-siakan
Biarlah,
Aku akan bangun lebih pagi
Mulai hari ini.

Yogyakarta, 19 Juli 2011

PUISI JADI MAHAR KITA


PUISI JADI MAHAR KITA
Oleh: Edo Permadi

Pujanggaku yang pemalu
Bagaimana bisa aku memadu dirimu
Dengan ego yang menjejal di kepalaku.

Aku sigapkan langkahku
Duhai pujanggaku yang pemalu
Bagaimana bisa aku tak berseri
Oleh tutur kalimatmu yang gemerlap puji itu.

Dari pekarangan rumahku yang bernuansa hijau
Aku sambut sapamu pagi ini
Laksana pujangga yang malu-malu
Sepoi-sepoi kau mulai
Melukiskan wajahku pada puisi-puisimu
Yang penuh kicau.

Kenalkanlah aku pada ibumu
Katakan pada beliau
Bisakah puisimu yang penuh romansa itu jadi mahar kita.

Yogyakarta, 25 Oktober 2010

HANCUR


HANCUR
Oleh: Edo Permadi

Bagiku,
Bahagia atau tidak sama sekali
Sakit atau tidak sama sekali
Yang selaras bisa jadi penuh sesat
Yang hanyut mungkin tertambat
Yakin atau tidak sama sekali
Berubah baik atau tidak sama sekali
Pergi atau bertahan hingga ajal.

Yogyakarta, 03 November 2010

DIAM LEBIH BAIK


DIAM LEBIH BAIK
Oleh: Edo Permadi

Tiada ramah nasib musyafir
Yang memanggul surya di kepalanya: berkata diam lebih baik, lebih lama diam lebih baik, pasti...
Di sawah-sawah, sepanjang jalan kampung
Lara kekosongan itu menjerit
Mengendap-endap halus
Memecah hijau
Kadangkala sepi memang tiada seakrab
Suara-suara kekasih.

Hendak kemana kerikil tajam kau suguhkan?
Kapan datang dan pulang petaka?
Membawa keranjang cahaya yang kau petik
Di sungai-sungai, sepanjang jalan kampung
Ini kesia-siaanku..
Ini kepasrahanku..
Terima saja senyum yang tiada semanja
Lagu-lagu kekasih.

Sleman, 09 Juli 2010

BERTINGKAH SEPERTI MANUSIA SUCI


BERTINGKAH SEPERTI MANUSIA SUCI
Oleh: Edo Permadi

Sertailah aku,
Menjelma jadi bangkai aroma madu
Mempermasalahkan kebenaran bagai tabu
Dan kepalsuan perut-perut tambun.

"Kukira engkaupun mana mau, membenamkan keluh pilumu dalam bara diam", begitu ucapku pada langit.

Pahamilah aku,
Yang tidak berkesudahan meneriaki langit malam
Mempermasalahkan jati diri
Dan diteriaki orang, jangan bertingkah seperti manusia suci.

Relakah tatapanmu membersamaiku?
Menghibur penggalan-penggalan hatiku
Yang tengah berjalan membusuk
Karena kalut telah tergelar, di segala keikhlasan yang senyap.

Sertailah aku,
Menuju kehampaan yang jauh lebih buruk dari sumpahmu
Biarkan kebiruan yang kusam karena kepalaku
Mengakar keras dikepalamu
Aku tulus minta maaf padamu,
Izinkanlah aku mati terkubur bersama mathari kita.

Pahamilah aku,
Yang tidak berkesudahan menagihi damai pada langit malam
Mempermasalahkan wajah-wajah lama
Yang bergumul erat dengan laknat sepanjang hayat.

Yogyakarta, 23 Januari 2011